THE DUTCH COLONIAL TRAIL NORTHEAST OF BONTHAIN BAY
Main Article Content
Abstract
Kebanyakan penelitian arkeologi di Bantaeng berfokus pada kajian prasejarah dan sedikit yang
mengkaji periode setelahnya, terutama masa kolonial. Bantaeng dalam historiografi masa kolonial dikenal dengan nama Bonthain, sebuah daerah di timur laut Teluk Bonthain. Di daerah tersebut pemerintah kolonial Belanda mendirikan bangunan-bangunan yang jejak keberadaannya masih dapat dilacak. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran eksplanatif mengenai jejak-jejak arkeologis pemerintahan kolonial Belanda di Bantaeng. Data dalam tulisan ini terdiri dari data utama dan data pendukung. Data utama berupa data artefaktual bangunan masa kolonial Belanda bersumber dari survei Balai Arkeologi Sulawesi Selatan tahun 2017, sedangkan data pendukung seperti peta dan foto lama, catatan perjalanan, dan referensi terkait diperoleh dari berbagai sumber. Metode menggunakan teknik observasi, wawancara, kajian pustaka, dan eksplanasi. Tulisan ini memberi kesimpulan bangunan-bangunan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda didirikan di antara Sungai TangngaTangnga dan Sungai Calendu tidak jauh dari pesisir teluk. Bangunan-bangunan didirikan untuk aktivitas pemerintahan, peribadatan, pendidikan, pelayanan publik, hunian, dan pemakaman.
Most archaeological research in Bantaeng has focused on prehistoric studies and few have examined the period afterwards, especially the colonial period. Bantaeng in colonial history is known as Bonthain, an area in the northeast of Bonthain Bay. In that area the Dutch colonial government erected buildings whose traces of existence could still be traced. This paper aims to provide an explanatory description of the archaeological traces of the Dutch colonial government in Bantaeng. The data in this paper consists of main data and supporting data. The main data in the form of artifactual data on Dutch colonial buildings were sourced from the 2017 South Sulawesi Archaeological Center survey, while supporting data such as old maps and photographs, travel notes, and related references were obtained from various sources. The method uses techniques of observation, interviews, literature review, and explanation. This paper concludes that the buildings of the Dutch colonial government were erected between the Tangnga-Tangnga River and the Calendu River not far from the bay coast. Buildings were erected for government, worship, education, public service, occupancy, and funeral activities.
Article Details
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Penulis yang naskahnya diterbitkan menyetujui ketentuan sebagai berikut:
- Hak publikasi atas semua materi naskah jurnal yang diterbitkan/dipublikasikan dalam situs E-Journal Walennae ini dipegang oleh dewan redaksi dengan sepengetahuan penulis (hak moral tetap milik penulis naskah).
- Ketentuan legal formal untuk akses artikel digital jurnal elektronik ini tunduk pada ketentuan lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike (CC BY-NC-SA), yang berarti Jurnal Walennae tidak memiliki tujuan komersial, berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan artikel tanpa meminta izin dari Penulis selama tetap mencantumkan nama Penulis sebagai pemilik Hak Cipta.
- Naskah yang diterbitkan/dipublikasikan secara cetak dan elektronik bersifat open access untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan perpustakaan. Selain tujuan tersebut, dewan redaksi tidak bertanggung jawab atas pelanggaran terhadap hukum hak cipta.
The Authors whose manuscript are published as detailed as follows:
- The publication rights of all Journal manuscript that published in the Walennae E-Journal website are held by the editorial board with the author's acknowledgement.
- Formal legal provisions for accessing digital articles of electronic journals in the decision of the Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike (CC BY-NC-SA) license, which means Walennae Journal has no commercial purpose, has the right to save, transfer media / format, manage in the form of databases, caring for, and publishing articles without asking permission from the Author as long as it keeps the name of the Author as the Copyright owner.
- Manuscripts published by printed and electronically open access for educational, research and library purposes. In addition, the editorial board is not responsible for copyright infringement
References
Agussalim. (2017). Suplemen Materi Ajar: Prasejarah-Kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
Akbar, A. (2019). Berre’ ri Sulawesi Maniang: dari Produksi, Perdagangan, Pelayaran, hingga Penyelundupan Beras (1946-1956). Jurnal Pangadereng, 15(1), 141–161. https://doi.org/10.36869/.v5i1.6
ANRI. (1973). Ikhtisar Keadaan Politik East Indiesa-Belanda Tahun 1839-1848. Jakarta: Arsip Nasional republik Indonesia.
Balar Sulsel (2017). Jejak Peradaban Islam dan Kolonial di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan. Makassar.
Bantaeng en Omstreken. Map. (1924). In Topographische Inrichting. Retrieved from http://colonialarchitecture.eu/islandora/object/uuid:309623cc-1706-4180-b945- 1f854f6f6ab2/datastream/OBJ
Carteret, P. (1976). A Draught of Bonthain Bay Situated about 30 Leagues to The S.E. of Macassar in The Island of Celebes [cartographic material].
Fadillah, M. A. (1999). Survei dan Ekskavasi Bonto-bontoa, Bantaeng Timur: Investigasi Awal. Walennae, 2(1), 13–38. https://doi.org/10.24832/wln.v2i1.64
Gouvt. Celebes en Onderh. (1922). In Topographische Inrichting. Retrieved from https://nla.gov.au/nla.obj-311928433/view
Hardiati, E. S. (1998). Catatan Atas Temuan Arca Terakota di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Walennae, 1(1), 43–50. https://doi.org/10.24832/wln.v1i1.306
Hasrianti. (2019). Pemaknaan Arsitektur Vila Yuliana di Soppeng, Sulawesi Selatan dengan Analisis Semiotika. Walennae, 17(1), 71–84. https://doi.org/10.24832/wln.v17i1.375
J. Hawkesworth. (2013). An Account of the Voyages Undertaken by the Order of His Present Majesty for Making Discoveries in the Southern Hemisphere (Vol. 1). New York: Cambridge University Press.
Kaunang, I. R. B., Haliadi, & Rabani, L. (2016). Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud.
Laely, N. (2018). Sistem Pemerintahan Kolonial East Indiesa Belanda di Onderafdeling Bonthain 1905-1942 (Artikel Te). Retrieved from http://eprints.unm.ac.id/id/eprint/11608
Manggotting, A. (2013). Peresmian Gedung Gereja Protestan Bantaeng. Retrieved from Media Online website: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/peresmian-gedung-gerejaprotestan-bantaeng
Mansyur, S., & Hasrianti. (2019). Perkembangan Arsitektur Masa Kolonial di Kota Palopo (1908-1940). Jurnal Tumatowa, 2(2), 92–105. Retrieved from http://jurnaltumotowa.kemdikbud.go.id/index.php/tumotowa/article/download/35/32
Mappangara, S. (2008). Sulawesi Selatan, Dimensi Sosial-Budaya, untuk Pariwisata. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI dengan Universitas Hasanuddin.
Nayati, W. (2005). ). Social Dynamics and Local Trading Pattern in the Bantaeng Region, South Sulawesi (Indonesia) circa 17th century. National University of Singapore.
Pradadimara, D. (2017). Dibentuknya Negara Kolonial di Sulawesi Bagian Selatan di Abad ke19. Lensa Budaya, 12(2), 63. https://doi.org/10.34050/jlb.v12i2.3050
Sakka, L. (2014). Historiografi Islam di Kerajaan Bantaeng. Jurnal Al-Qalam, 20(1), 65–74. https://doi.org/10.31969/alq.v20i1.175
Simanjuntak, T., Yuniawati, D. Y., Harkantiningsih, N., Hardianti, E. S., & Aziz, F. A. (2008). Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Soekiman, D. (2000). Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII - Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Yamin, M. (1956). Atlas Sedjarah. Jakarta: Jambatan.