RELATIONSHIP OF MEGALITHIC SITES IN BANTAENG REGENCY (A STRUCTURAL-FUNCTIONAL APPROACH) RELASI SITUS - SITUS MEGALITIK DI KABUPATEN BANTAENG (SUATU PENDEKATAN STRUKTURAL-FUNGSIONAL)

Main Article Content

Hermawan
Akin Duli
Hasanuddin

Abstract

Megalithic culture is not only seen as artefacts but as a collection of more complex archaeological data related to technological, social and religious aspects. One area that has quite complex megalithic culture is the Bantaeng region and its tradition is still ongoing today. This study aims to determine the form of megalithic remains and the relationship between megalithic sites in the Bantaeng Regency. The method used in this research is a literature study, field study, which is then analyzed based on form, function and context. Existing archaeological data will be combined with Lontaraq data, as well as myths related to the research area. In addition, a discussion was carried out with the structural-functional theory. The research was conducted on Sinowa, Onto, Gantarang Keke and Lembang Gantarang Keke sites. There are 27 findings which are grouped into five types, namely worship stones, mortars, dakon, altars and arrangement of circular stone. The results of the research show that some of the remains have similar forms but have different functions. In certain cases, there are differences in form between one site and another but have the same function. In addition, the function of megalithic findings is divided into two, namely profane and sacred. Site relations are formed by the presence of To Manurung which is illustrated through mythology, social norms and traditions. This indicates that the megalithic sites in Bantaeng are linked by the To Manurung genealogy.


 


 


 


Kebudayaan megalitik tidak hanya dilihat sebagai peninggalan artefak tetapi sebagai kumpulan data arkeologi yang lebih kompleks, terkait dengan aspek teknologi, sosial, dan religi. Salah satu wilayah yang mempunyai kebudayaan megalitik yang cukup kompleks ialah wilayah Bantaeng serta tradisinya masih berlangsung hingga saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk tinggalan megalitik serta relasi antarsitus megalitik yang ada di Kabupaten Bantaeng. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi literatur, studi lapangan, yang kemudian dianalisis berdasarkan bentuk, fungsi maupun konteks. Data arkeologis yang ada akan dikombinasikan dengan data Lontaraq, maupun mitos yang terkait dengan wilayah penelitian. Selain itu dilakukan pendiskusian dengan teori struktural-fungsional. Penelitian dilakukan di Situs Sinowa, Onto, Gantarang Keke dan Lembang Gantarang Keke. Terdapat 27 temuan yang dikelompokkan menjadi lima jenis yakni batu pemujaan, lumpang, dakon, altar dan temu gelang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tinggalan memiliki bentuk yang serupa namun berbeda fungsinya. Pada kasus tertentu, terdapat perbedaan bentuk antar satu situs dengan situs lain, namun memiliki fungsi yang sama. Selain itu, fungsi temuan megalitik dibagi menjadi dua yakni profan dan sakral. Relasi situs dibentuk atas kehadiran To Manurung yang tergambar melalui mitologi, norma-norma sosial serta tradisi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa situs megalitik di Bantaeng diikat oleh geneologi To Manurung.

Article Details

Section
Articles

References

Atmosudiro, S. (1981). Bangunan Megalitik Salah Satu Cerminan Solidaritas Masa Perundagian. Berkala Arkeologi, 2(1), 36–41. https://doi.org/10.30883/jba.v2i1.290

Binford, L. R. (1983). Working at Archaeology. Academic Press.

Bougas, W. A. (1998). Bantayan: An Early Makassarese Kingdom 1200-1600 AD. Archipel 55, 83–123.

Duli, A. (1996). Bentuk dan Fungsi Batu Temu Gelang di Sulawesi Selatan: Suatu Studi Etnoarkeologi. Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII.

Duli, A. (2008). Bentuk dan Peranan Budaya Megalitik pada Beberapa Situs di Kabupaten Banteng. Walennae, 10(2), 19–43. https://doi.org/10.24832/wln.v10i2.190

Duli, A. (2018). Reflections on the Social and Cultural Aspects of the Megalithic Site of Onto, Bantaeng, South Sulawesi. In The Archaeology of Sulawesi: Current Research on the Pleistocene to the Historic Period (pp. 313–326). ANU Press. https://doi.org/10.22459/TA48.11.2018.18

Fahmi, N. (2015). Komunitas Adat Onto di Butta Toa Bantaeng Abad XIII-XIV. Universitas Negeri Makassar.

Hadrawi, M. (2017). Bantaeng dalam Catatan Lontara: Agen Peradaban dan Sumber Genealogi Bangsawan Makassar.

Handoko, W. (2009). Dolmen Orang Maluku: Eksistensi Religi, Adat dan Integrasi Sosial (Tinjauan Etnoarkeologi). Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat, 1(2), 127–132. https://doi.org/10.24832/papua.v1i2.129

Hasanuddin. (2002). Beberapa Konsep Kebudayaan dan Aplikasinya dalam Arkeologi. Walennae, 5(1), 5–14. https://doi.org/10.24832/wln.v5i1.140

Hasanuddin. (2009). Pemukiman di Sepanjang Aliran Sungai Biang Keke dan Calendu Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Walennae, 11(1), 33–50. https://doi.org/10.24832/wln.v11i1.202

Hasanuddin. (2015). Kebudayaan Megalitik di Sulawesi Selatan dan Hubungannya dengan Asia Tenggara [Doctoral Thesis]. Universiti Sains Malaysia.

Hasanuddin. (2016). Nilai-Nilai Sosial dan Religi dalam Tradisi Megalitik di Sulawesi Selatan. Kapata, 12(2), 191–198. https://doi.org/10.24832/kapata.v12i2.313

Hasanuddin. (2018). Cultural Values and Inquiry in Developing Education and Culture in Bantaeng Regency, South Sulawesi. International Journal of Malay-Nusantara Studies, 1(2), 41–54.

Hasanuddin, N. (2017). Situs-Situs Megalitik di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Kapata Arkeologi, 13(1), 83–94. https://doi.org/10.24832/kapata.v13i1.395

Henley, D., & Caldwell, I. (2008). Kings and Covenants: Stranger-Kings and Social Contract in Sulawesi. Indonesia and the Malay World, 36(105), 269–291. https://doi.org/10.1080/13639810802268031

Hodder, I. (2011). Human-Thing Entanglement: Towards an Integrated Archaeological Perspective. Journal of the Royal Anthropological Institute, 17(1), 154–117.

Koentjaraningrat. (1987). Sejarah Teori Antropologi I. UI Press.

Mahmud, M. I., Duli, A., Nur, M., Thosibo, A., & Hakim, B. (2007). Bantaeng Masa Prasejarah ke Masa Islam (1st Edition). Masagena Press.

Nugraha, E. (2019, April 21). Inilah Wilayah Terlarang untuk Keturunan Raja di Bantaeng. Rakyatku.

Prasetyo, B. (2013). Persebaran dan Bentuk-Bentuk Megalitik Indonesia: Sebuah Pendekatan Kawasan. Kalpataru, 22(2), 89–100. https://doi.org/10.24832/kpt.v22i2.126

Putra, H. S. A. (2016). Demokrasi To-manurung Falsafah Politik Dari Bantaeng, Sulawesi Selatan. Masyarakat Indonesia, 40(1), 1–16. https://doi.org/10.14203/jmi.v40i1.100

Renfrew, C., & Bahn, P. (2000). Archaeology: Theories Methods and Practice (3rd ed.). Thames & Hudson Ltd.

Ririmasse, M. N. R. (2007). Ruang Sebagai Wahana Makna: Aspek Simbolik Pola Tata Ruang dalam Rekayasa Pemukiman Kuna di Maluku. Kapata Arkeologi, 3(5), 72–106. https://doi.org/10.24832/kapata.v3i5.69

Rosmawati, R., Duli, A., Nur, M., Yusriana, Y., Saraka, E. M. U., Muda, K. T., Chia, S., Sabin, Y. S., Ramli, Z., Bulbeck, F. D., & Brumm, A. (2022). The Function and Meaning of Megalithic Cultural Heritage in Some Sites in Bantaeng Regency, South Sulawesi. Mozaik Humaniora, 22(1), 114–128. https://doi.org/10.20473/mozaik.v22i1.32402

Somba, N. (2002). Lumpang Batu dan Sistem Pertanian Awal pada Masyarakat Sulawesi Selatan. Walennae, 5(1), 45–51. https://doi.org/10.24832/wln.v5i1.144

Sukman, F. F. (2018). Eksistensi Akkawaru, Upacara Adat Kepercayaan di Butta Toa Kabupaten Bantaeng. Jurnal Puitika, 14(1), 26–38.

Triwurjani, R. (2019). Simbol dan Hierarki Penutur Austronesia pada Budaya Megalitik Pasemah, Sumatera Selatan. Prosiding Balai Arkeologi Jawa Barat, 43–52. https://doi.org/10.24164/prosiding.v3i1.5